HAK ASASI MANUSIA
Pengertian Hak
asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh tuhan yang maha
pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati.) oleh karena itu, tidak ada kekuasaan
apapun yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian, bukan berarti manusia dengan
hak-haknya dapat berbuat semaunya.
Hak asasi yang
dimiliki oleh manusia telah dideklerasikan oleh ajaran islam jauh sebelum
masyarakat(Barat) mengenalnya, melalui berbagai ayat Al-Qur’an misalnya manusia
tidak dibedakan berdasarkan warna kulitnya, rasnya tingkat sosialnya. Allah
menjamin dan memberi kebebasan pada manusia untuk hidup dan merasakan
kenikmatan dari kehidupan, bekerja dan menikmati hasil usahanya, memilih agama
yang diyakininya.
HAM dalam pandangan Islam dan Barat
HAM terbagi menjadi 2
HAM Menurut barat dan menurut islam.
HAM barat bersifat anthroposentris, yaitu segala sesuatu
berpusat pada manusia sehingga menempatkan manusia sebagai tolak ukur segala
sesuatu.
HAM islam bersifat
theosentris, yaitu segala sesuatu berpusat pada Allah.Dalam konsep demokrasi
modern, kedaulatan rakyat merupakan inti dari demokrasi sedang demokrasi islam
meyakini bahwa kedaulatan Allah lah yang menjadi inti dari demokrasi.
Penerapan
demokrasi dianggap sebagai pilihan terbaik untuk mengatasi berbagai kemelut
yang melanda negeri mayoritas muslim ini. Menurut pengagumnya, sistem demokrasi
memberikan ruang dan kesempatan sangat luas bagi rakyat untuk turut terlibat
dalam proses kekuasaan. Dengan demikian, berkuasanya pemerintahan yang korup
dan menindas rakyat dapat dicegah. Di samping demokrasi, beberapa ide lainnya
yang yang dianggap mampu memberikan solusi atas carut-marutnya kehidupan
sosial-politik saat ini adalah HAM dan pluralisme.
Demokrasi
tidak hanya batil secara konsep, namun juga hanya menawarkan ilusi. Rakyat yang
dijadikan sebagai pemegang kedaulatan itu hanya dilibatkan saat pemilu tiba.
Pada musim kampanye, partai-partai peserta pemilu merayu rakyat dan mengobral
janji- janji manis agar rakyat memberikan suara kepadanya. Setelah mereka
memperoleh suara dan berhak mewakili rakyat, mereka berhak menggunakan untuk
apa saja yang dipandang sejalan dengan kepentingannya. Anehnya, mereka
senantiasa mengatasnamakan rakyat. Padahal, mereka sama sekali tidak pernah
berkonsultasi kepada rakyat pemilihnya. Bahkan, tidak sedikit pula rakyat
pemilihnya itu tidak menyetujui manuver-manuver yang dilakukan partai-partai
yang dulu dipilihnya. Sewaktu berkampanye, di antara partai-partai Islam itu
ada yang berjanji akan memperjuangkan diterapkannya syariat Islam. Di
panggung-panggung kampanye, mereka mengecam ide sekular dan tokoh-tokonya. Dan
karena materi kampanye itu, tidak sedikit umat Islam bersimpati kepadanya lalu
mencoblosnya. Namun, tatkala pemilihan presiden, partai-partai Islam itu justru
mencalonkan Gus Dur. Tokoh demokrasi yang sering menyebut partai-partai Islam
dengan sebutan sektarian.
Kini,
partai-partai Islam itu ramai-ramai mendukung Megawati. Tokoh nasionalis yang
menjadi ketua umum sebuah partai politik yang amat menentang penerapan syariat
Islam (kasus terakhir menentang rencana pemberlakuan syariat Islam di Aceh).
Partai-partai tersebut masih saja mengklaim bahwa mereka mewakili sekian juta
dari pemilihnya. Pada hal, setelah menyaksikan perilaku elit-elitnya yang tidak
konsisten dengan Islam, mereka kecewa dan tak lagi mendukungnya. Hal yang sama
bisa terjadi pada partai-partai lainnya. Jika demikian, di manakah peran
rakyat? Rakyat hanya diperlukan saat pengambilan suara. Selebihnya, terserah partai-partai
politik itu.
Saat ini, memang demokrasi telah mendapat pasaran yang
paling tinggi sebagai jalan keluar atas segala permasalahan yang dihadapi oleh
manusia.
Demokrasi, yang secara teorinya dimaksudkan sebagai suatu sistem yang
dibentuk, dijalankan, dan ditujukan bagi kepentingan rakyat ini dalam tataran
praktiknya akan sentiasa mengalami berbagai penyesuaian dan perubahan, sehingga
seringkali penerapannya bersifat trial and error, atau sebagai mana yang
dikatakan para pengusungnya, demokrasi itu bersifat projek.
Dan tentu saja,
pemahaman Islam ortodoks berpengaruh dalam membentuk eksklusivisme hingga
menyebabkan kebanyakan kaum muslim bersikap tertutup dari hal-hal yang berbau
modernisme, di samping mereka juga terbuai oleh romantisme masa lalu. Oleh
kerana itu, kaum muslim wajib menimbus semula kemunduran mereka menerusi binaan
semula kefahaman Islam mereka.
Mungkin gagasan rekonstruksi inilah yang menjadi pesan
yang gigih disampaikan oleh mereka yang mahu menerapkan demokrasi ke dalam
dunia Islam. Lalu ungkapan seperti “nilai demokrasi juga terkandung oleh
Islam”, “demokrasi merupakan bahagian dari Islam”, ataupun “demokrasi adalah
Islam itu sendiri” kerap dikumandang kebelakangan ini.
Meskipun
demikian, banyak pula para apologis muslim yang menolak adanya penerapan
demokrasi ke dalam Islam, sebab menurut mereka, demokrasi dan Islam itu adalah
dua hal yang berbeza dan tidak mungkin dapat disetarakan. Ini kerana, bagi
mereka, demokrasi adalah pemikiran kufur yang tentunya haram untuk diamalkan oleh
kaum muslim. Bagaimanakah hubungan yang sebenarnya antara Islam dan demokrasi
ini? Secara sejarahnya, gagasan demokrasi berasal dari budaya kuno Yunani yang
mahu membentuk pemerintahannya yang dipimpin oleh ramai orang. Dan, pada tahun
508 SM, Cleisthemes mula-mula memperkenalkan dan melaksanakan sistem
“pemerintahan rakyat” di Athens.
Akan tetapi idea demokrasi itu muncul dan
berkembang di Eropa sebagai jalan tengah dia atas pertikaian antara kaum
gerejawan yang mahu pemerintahan diserahkan kepada raja yang dikatakannya
sebagai wakil tuhan di dunia. Sebaliknya, kaum pemikir pula mahukan agar gereja
jangan mencampuri kehidupan kerana sejarah abad kegelapan telah membuktikan
betapa peranan gereja dalam kehidupan hanyalah melahirkan kediktatoran dan
kesengsaraan bagi rakyat.
Pada saat itu
demokrasi muncul untuk menyelesaikan pertikaian yang ada sehingga berlakunya
kesepakatan antara kaum gerejawan, atau istilah yang lain, agamawan, dengan
para pemikir. Keadaan akhirnya menentukan bahawa gereja/agama hanyalah
semata-mata mengatur dalam tataran peribadi individu, sedangkan politik
kenegaraan telah diserahkan sepenuhnya kepada rakyat.
Jadi, idea inilah yang kemudian dikenal sebagai
sekularisme (pemisahan agama dalam kehidupan) yang juga menjadi dasar bagi lahirnya
idea kapitalis itu sendiri. Sehingga boleh dikatakan bahwa demokrasi itu lahir
dari idea sekularisme yang notabene kepada
ideologi yang telah lahir dari peradaban barat. Walau bagaimanapun, seiring
berjalannya waktu, konsep demokrasi turut mengalami perkembangannya. Dan
demokrasi ini kemudiannya telah diserukan oleh banyak kelompok, di mana
masing-masing dari mereka telah merumuskan makna demokrasi dan dikaitkan dengan
akidah yang diyakininya, serta kemudiannya turut disesuaikan dengan
tujuan-tujuannya.
Kesannya, pengertian demokrasi menjadi beragam,
sehingga menimbulkan jargon seperti demokrasi Islam, demokrasi sosial, dll. Hal
inilah yang mendorong Robert Dahl dalam On Democracy mengungkapkan bahawa,
”demokrasi itu sebenarnya sering simpang siur.”
Selain daripada itu,
keadaan ini juga mencerminkan kebenaran tanggapan bahawa demokrasi itu sendiri
sememangnya merupakan suatu masalah yang membingungkan. Ini bererti, masalah
teori demokrasi saja sudah berdepan dengan kerencaman yang tiada penyelesaiannya.
Jadi adalah wajar jika dalam tataran praktiknya demokrasi itu akan terus
mengalami perubahan serta penyesuaian dengan suasana dan tempat sewaktu diterapkannya
demokrasi tersebut.
Sehubungan
dengan itu, timbul pertanyaan, bagaimana mungkin jika demokrasi yang bersifat
membingungkan dalam tataran teorinya itu serta masih bersifat trial and
error dalam tataran praktiknya mampu menjadi penyelesaian di atas
permasalahan manusia yang kita tahu memang kompleks sifatnya? Bukankah itu sama
halnya dengan ungkapan “menyelesaikan masalah dengan masalah ”Sungguhpun
begitu, Alija Izetbegovic, pengarang buku Islamska Deklaracija, juga sekaligus
failasuf dari Bosnia & Herzegovina berpendapat bahawa “keunikan Islam adalah kerana ia
mempunyai perspektif holistik di mana norma- norma agama adalah sebuah praktik
politik yang korektif, sehingga agama itu sendiri menjadi wahana untuk
memperbaiki kehidupan khalayak, dan bukannya mengkhianatinya”.
Rumusan
Izetbegovic ini bermakna bahawa Islam itu mampu untuk muncul sebagai suatu
aturan kompleks bagi mengatur seluruh aspek termasuk membangunkan sistem
pemerintahan, dan hukum yang dijalankan adalah berdasarkan kepada sumber Islam
itu sendiri, yakni al-Qur’an dan hadis.
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar